FacebookInstagramYoutube

Menyelami Harmoni Akidah dan Tasawuf di Era Hedonisme Modern

Pagi itu, aula Pusdiklat LAN RI di Lamcot menjadi saksi pertemuan lintas zaman, di mana konsep akidah dan tasawuf dibingkai ulang dalam bayang-bayang gaya hidup modern yang serba gemerlap. Seminar internasional bertema “Harmonisasi Akidah dan Tasawuf dalam Menyikapi Gaya Hidup Materialisme dan Hedonisme Modern” yang dihelat oleh IKAT-Aceh  bukan sekadar menawarkan diskusi, tetapi sebuah napas panjang untuk merenungi hakikat diri dan dunia.

Di atas podium, tampak empat sosok tokoh yang hari ini menjadi pusat perhatian peserta. Mereka duduk tenang dan sesekali bercengkerama akrab, mencerminkan kemuliaan ilmu yang telah mempertemukan keempatnya dalam satu podium pagi itu: Tgk. Khalid Muddatstsir, Lc. MA, selaku Ketua IKAT-Aceh dan penyelenggara seminar; Ust. Dr. Amri Fatmi, Lc. MA, sebagai penerjemah sekaligus dai internasional; serta Syekh Anas As-Syafrawi dan Syekh Hasan Mar’iy sebagai pemateri utama.

Ketua IKAT-Aceh membuka acara dengan harapan, serta memberikan rambu-rambu kepada peserta dalam menyeimbangkan akidah dan tasawuf.

“Sepanjang sejarah, kita telah menyaksikan pertikaian berkesinambungan antara mutakallimin dan sufisme. Perbedaan pijakan pengetahuan mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Namun, di sisi lain, umat modern dihadapkan pada ideologi materialisme yang terus menjangkiti berbagai kalangan, terutama anak muda. Maka, kita berharap para syekh yang mendalami diskursus kalam dan tasawuf dapat memberikan pendekatan titik damai (ishlah) bagi kedua pilar fundamental Islam ini. Keduanya bisa menjadi obat bagi aliran-aliran modern yang berdampak negatif bagi umat,” ujar Tgk. Khalid Muddatstsir, Lc. MA.

Setelah sambutan dari Tgk. Khalid Mudatstsir, Syekh Anas As-Syafrawi dipersilakan untuk menyampaikan materi terkait tema utama seminar tersebut. Sosok ulama yang berwibawa ini memberikan kesan menenangkan bagi siapa pun yang memandangnya. Beliau membuka pemaparan dengan menihilkan adanya pertentangan antara hakikat tasawuf dan akidah.

“Kontradiksi antara akidah dan tasawuf hanya terjadi di kalangan orang yang sebenarnya tidak menguasai kedua hal tersebut dengan baik,” ungkap Syekh Anas dalam pembukaan pemaparannya.

Dua Wajah Tasawuf: Jalan Akhlak dan Jalan Mukasyafah

Syekh Anas melukiskan dua lanskap dalam dunia tasawuf. Di satu sisi, ada jalan Imam Al-Ghazali, yang membawa manusia untuk mengasah akhlak dan menyeimbangkan akidah dengan laku hidup. Sebuah harmoni yang dirajut dalam Ihya Ulumuddin, tempat setiap jiwa diajak mendaki tangga menuju kesalehan.

Namun, di sisi lain, terbentang jalan yang lebih sunyi dan penuh misteri: tasawuf mukasyafah. Di sinilah Imam Muhyiddin Ibnu Arabi menjadi ikon. Dunia ini, dengan kabut ghaib yang menyelimutinya, menuntut rasa (dzauq), bukan sekadar logika. Di sinilah pula banyak orang tersesat, terbawa arus tanpa bekal pengetahuan yang cukup.

Syekh Anas menjelaskan bahwa Imam Al-Ghazali sebenarnya sangat memahami tasawuf yang dituliskan oleh Ibnu Arabi. Namun, beliau memilih untuk tidak masuk lebih jauh ke sana karena menganggapnya berbahaya.

Beliau juga mengangkat perdebatan seputar kebolehan menjadikan materi ghaib sebagai bahan penulisan dan diskusi dalam pengajian. Dalam pemaparannya, Syekh Anas mengemukakan pandangan dari kedua tokoh acuan. Imam Al-Ghazali melarang hal tersebut dengan alasan kemudaratan lebih banyak daripada manfaatnya, sedangkan Ibnu Arabi justru memperbolehkannya. Ibnu Arabi beralasan, mengapa tidak menulis hal-hal yang telah Allah bukakan tabirnya, sementara hal-hal yang belum terbuka ditinggalkan? Selain itu, hal tersebut dianggap dapat mendatangkan banyak manfaat.

Syekh Anas juga menyampaikan komentar ulama yang pada umumnya melarang orang-orang untuk terjun ke dalam materi tasawuf mukasyafah karena akal manusia tidak sanggup mencernanya. Alasan lain adalah materi-materi tasawuf jenis ini tidak dapat ditimbang dengan syariat, sehingga kemungkinan terjadinya kesesatan sangat besar.

“Para ulama juga menemukan kontradiksi antara ucapan-ucapan berbahaya yang disampaikan oleh tokoh-tokoh tasawuf jenis ini dan amal mereka yang sangat baik. Berangkat dari ini, para ulama menjadi berbeda pendapat ketika diminta fatwa mengenai tokoh-tokoh tasawuf tersebut,” tambah Syekh Anas.

Di akhir penjelasan, Syekh Anas mengingatkan agar siapa pun yang hendak mengkritik Ibnu Arabi melakukannya dengan penuh kelembutan dan kesantunan, tanpa merendahkan derajat beliau sedikit pun. Hal inilah yang selama ini dicontohkan oleh ulama-ulama di Suriah.

Anjuran Syekh Anas untuk tetap menjaga kelembutan dan sopan santun tersebut menjadi penutup pemaparannya. Para peserta pun tampak hanyut dalam arus ketenangan ketika menyelami penjelasan detail dari para cendekiawan Islam terdahulu.

Materialisme dan Zikir yang Terlupakan

Selanjutnya, Syekh Mar’iy Hasan, pakar hadis, membuka pembahasan tentang materialisme, tamu tak diundang dalam rumah Islam. Syekh Mar’iy memulai dengan menelusuri asal mula kemunculan materialisme. Beliau menjelaskan bahwa paham ini lahir sebagai bentuk antitesis dari fase dunia Islam yang terlalu mengagungkan dan membicarakan perihal karamah dan hal-hal ghaib.

Beliau juga menyebutkan tokoh-tokoh Islam modern yang mempopulerkan paham ini, seperti Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, dan Muhammad Husein Haikal dalam kitabnya Hayatu Muhammad. Tokoh-tokoh ini membawa arus rasionalisme hingga menolak mukjizat dan hal-hal di luar jangkauan akal.

Sebagai seorang ahli hadis, Syekh Mar’iy memiliki metode tersendiri yang berbeda dengan paham materialisme. Metode tersebut terangkum dalam ilmu mushtalah hadis. Dijelaskan bahwa jika suatu hadis memenuhi kriteria untuk diterima, maka hadis tersebut harus diterima secara utuh, meski akal belum mampu mencernanya.

“Namun, Islam bukan sekadar logika,” ujar Syekh Mar’iy. “Inti Islam adalah penghambaan.”

Syekh Mar’iy juga mengajak para peserta untuk kembali ke akar: zikir yang diajarkan Rasulullah SAW, seperti yang terangkum dalam Al-Adzkar karya Imam Nawawi. Sebuah jalan sunyi yang, ironisnya, semakin jarang dilalui di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern.

Penutup: Sebuah Pelita di Akhir Tahun

50. WhatsApp Image 2025 01 06 at 19.57.40 934f0293 scaled
Foto bersama Syekh Anas Syafrawidan Syekh Hasan Mar’Iy usai Seminar. (Foto: Mukram Marzuki)

Rabu, 18 Desember 2024, menjadi akhir tahun yang memberikan secercah pelita bagi mereka yang ingin memahami batas antara dunia dan jiwa. Seisi ruangan benar-benar dia ajak menyelami keilmuan Islam taraf dunia, ditembah lagi susunan penerjemahan yang ringan dan mudah dimengerti yang disampaikan oleh sang pakar bidang aqidah dan filsafat. Siapa pun yang hadir pagi itu tentu akan tercerahkan oleh dua hal: semangat keilmuan para cendekiawan Islam tempo dulu serta akhlak para pemateri yang mampu menjelaskan perbedaan dengan penuh kesantunan.

Seminar ini mengingatkan bahwa Islam bukan hanya mewarisi kebesaran ilmu, tetapi juga akhlak, sopan santun, dan keteladanan dari satu generasi ke generasi yang lain.

Oleh: Annas Mutatqin
Editor: Diffa Cahyani Siraj 

Tulisan ini disadur dari catatan Ust. Husni Nazir, Lc. MA, yang menjadi notula pada kegiatan seminar “Harmonisasi Akidah dan Tasawuf dalam Menyikapi Gaya Hidup Materialisme dan Hedonisme Modern”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_img
TERBARU

INFO TIMTENG

BERITA POPULAR