Oleh: Ustazah Ainun Mardiyah, Lc., Dpl.,
alumnus jurusan Hadis Universitas Al-Azhar Mesir dan anggota IKAT Aceh
Tahun 2015, saya mengikuti praktik lapangan Rukyatul Hilal yang dilakukan oleh Observatorium Helwan, Mesir. Salah satu observatotium yang menjadi rujukan Darul Ifta (Lembaga Fatwa Nasional) Mesir untuk menentukan waktu penentuan permulaan bulan baru dalam kalender hijriah.
Dalam kesempatan lain saya juga mengikuti sebuah seminar yang dihadiri amin fatwa utusan Darul Ifta untuk memaparkan praktik penentuan awal bulan hijriah di Mesir.
Dari kedua kegiatan tersebut, dapat saya simpulkan bahwa tidak terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan di Mesir, meskipun metode yang digunakan adalah hisab falakiah dan rukyat. Hal ini tentu saja berbeda dengan praktik penentuan awal bulan hijriah di Indonesia yang kerap melahirkan perbedaan pendapat.
Jadi, kenapa tidak ada perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan di Mesir?
Pertama, Darul Ifta Mesir menggunakan kedua metode; baik hisab maupun rukyat, dalam penentuan awal bulan. Uniknya, ada satu kaidah dasar agar keduanya dapat diterapkan bersamaan, sehingga tidak terjadi benturan antara hisab dan rukyat.
Kaidah yang dimaksud adalah,
الرؤية للاثبات لا للنفي والحساب للنفي لا للاثبات
“Rukyat menjadi dasar untuk menentukan awal bulan dan ini tidak dapat dinegasikan/ditolak. Sedangkan hisab menjadi dasar untuk menegasikan/menolak dan tidak untuk menentukan awal bulan.”
Artinya, rukyat (pandangan mata) selalu digunakan untuk menentukan awal bulan sebagai bentuk penerapan hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ، فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian ketika telah melihat hilal (Ramadan), dan berhentilah puasa ketika telah melihat hilal (Syawal), jika hilal tertutup bagi kalian maka genapkanlah 30 hari” (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hisab digunakan untuk menolak pandangan, jika muncul hilal (dengan metode rukyat), yang mana secara hisab hal itu tidak mungkin terjadi.
Singkatnya, jika seseorang mengaku melihat hilal, akan tetapi hal itu tidak mungkin terjadi berdasarkan hisab, maka pendapat itu ditolak. Namun, jika menurut metode hisab, memungkinkan adanya hilal, tapi dengan metode rukyat belum nampak hilal, maka awal bulan belum terjadi.
Kapan awal bulan ditentukan?
Jika menurut hisab memungkinkan adanya rukyat dan memang telah terbukti munculnya hilal dengan metode rukyat. Di sini, rukyatlah yang dapat menentukan sudah terjadi awal bulan atau belum, bukan hisab.
Dengan metode ini, rukyat baru dapat digunakan jika hal itu memungkinkan menurut hisab. Namun, hisab sendiri tidak dapat menentukan kapan awal muncul hilal tanpa adanya rukyat. Keduanya digunakan dan tidak berbenturan.
Kedua, posisi Darul Ifta Mesir selaku lembaga yudikatif—keputusannya (dalam hal ini) bersifat mengikat—yang melaksanakan penentuan awal Ramadan. Mufti Darul Ifta Mesir pun dipilih dan direkomendasikan oleh para ulama senior, yang pemilihannya jauh dari unsur politis.
Sedangkan di Indonesia penentuan awal Ramadan melalui sidang isbat yang dilaksanakan oleh Kementrian Agama, yang mana menterinya ditunjuk oleh presiden (eksekutif).
Barangkali kedua hal inilah yang membuat perbedaan pendapat dalam penentuan awal bulan Ramadan maupun Syawal masih kerap terjadi di negeri ini. Di Indonesia, baik secara metode maupun posisi hirearki lembaga penentu, nampaknya masih belum dapat menyatukan perbedaan pendapat soal awal bulan yang sakral dan dinanti-nanti ummat Islam ini.
Nah, mungkinkah perbedaan ini bisa dihindari atau dikompromikan jika kita berkaca dan mencontoh bagaimana yang dilakukan pemerintah Mesir dengan Darul Ifta-nya, baik dari segi metode maupun posisi lembaga yang memutuskannya?
Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang.
Wallahu ta’ala alam
Editor: Annas Muttaqin S