Oleh: Husni Nazir, Lc., MA. (Ketua Madhyfah IKAT-Aceh)
maka jelas terlihat bahwa suara yang akan kita berikan pada pilkada nanti haruslah sesuai dengan hati nurani. Yang kita maksudkan dengan hati nurani di sini adalah suara yang keluar setelah melalui proses seleksi ketat via syarat-syarat seorang pemimpin yang ideal. Bukan suara hasil pertimbangan politik yang terkadang hanya memberikan kepentingan bagi sebagian kelompok saja.
Momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tinggal menghitung hari. Di antara kita barangkali sudah menentukan pilihannya dan tentu sebagian lainnya masih berpikir kepada siapa suaranya akan dipercayakan nanti.
Di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nanti, paling tidak ada tiga tipe pemilih yang bisa kita dapati. Pertama, mereka yang memilih sesuai dengan hati nurani dan digerakkan oleh keyakinan bahwa tokoh tersebut memang pantas untuk memimpin. Kedua, mereka yang melawan hati nurani dan memutuskan untuk memilih pihak lain karena dianggap mampu mendatangkan kemashlahatan kepadanya secara politik. Dan ketiga, adalah mereka yang merasa tidak perlu mempersulit masalah, karena toh selama ini, siapa saja yang kita pilih, belum juga mendatangkan perubahan.
Kita ingin melihat kenyataan ini dari sudut pandang agama Islam. Kira-kira, di antara tiga pilihan tersebut, tipe manakah yang paling ideal?
Dalam kontek agama, suara yang diberikan di bilik TPS dilihat sebagai sebuah amanah. Karena pada hakikatnya ketika kertas suara dicoblos, seseorang sedang menitipkan perkara umat Muhammad ini kepada sosok yang telah dia pilih. Dan penitipan ini adalah amanah.
Dalam Al-Quran, Allah memberikan satu syarat umum yang harus dipenuhi ketika proses pelimpahan amanah itu dilakukan, yaitu kita harus memastikan bahwa orang yang kita pilih punya kapasitas untuk memikul tanggung jawab tersebut. “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya”. (Q.S. An-Nisak: 58)
Imam Al-Qurthbiy (w. 671H) dalam Al-Jamik li Ahkam Al-Quran mengatakan, bahwa perintah ini selain ditujukan kepada pemimpin umat Islam dalam memilih orang-orang yang akan dipercayakan untuk memikul tanggung jawab negara, juga ditujukan kepada umat agar berhati-hati (at-taharruz) dalam memberikan persaksian.
Syarat umum ini jika kita ingin melihat detailnya, kita bisa mengetahuinya dari ucapan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. ketika memilih Zaid bin Tsabit ra. untuk menjadi kepala tim pengumpul teks Al-Quran untuk dituliskan dan disatukan di satu tempat.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhariy (W. 256 H) dari Zaid bin Tsabit ra. sendiri, bahwa ketika dirinya dipanggil oleh Abu Bakar untuk menghadapnya, ketika itu Abu Bakar menyebutkan tiga alasan di balik pemilihan tersebut.
Abu Bakar ra. ketika itu mengatakan “Sesunggunya engkau adalah seorang pemuda, cerdas, kami tidak menaruh curiga padamu dan engkau pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Saw.”
Dari perkataan Abu Bakar kita bisa melihat bahwa amanah untuk mengumpulkan Al-Quran tidak beliau berikan begitu saja kepada Zaid bin Tsabit ra. Namun atas pertimbangan yang sangat matang. Pilihan Abu Bakar didasarkan pada empat sifat yang dimiliki oleh Zaid.
Empat alasan tersebut, yang pertama adalah fisik yang sempurna. Hal ini bisa kita tangkap dari kata pemuda yang dipakai oleh Abu Bakar. Seolah Abu Bakar melihat bahwa tugas mengumpulkan Al-Quran adalah tugas yang membutuhkan fisik yang kuat, dan itu hanya dimiliki oleh seorang pemuda.
Syarat yang kedua, kecerdasan. Syekh Mushthafa As-Siba’iy dalam kitab As-Sirah An-Nabawiyah-nya mengatakan bahwa kecerdasan menjadi syarat wajib bagi seorang Rasul. Karena beliau akan mengatur kepentingan banyak orang. Dan itu membutuhkan kecerdasan akal dalam mengambil keputusan yang tepat dan efektif. Beliau juga mengatakan syarat ini juga berlaku untuk seorang pemimpin.
Syarat ketiga, kredibel. Seseorang yang ingin kita percayakan sebuah amanah, harus memiliki sifat yang ini. Dengannya kita akan merasa tenang dan tentram karena adanya keyakinan dalam hati bahwa kita tidak akan dikhianati. Bagi seorang pemimpin, sifat ini merupakan alasan di balik stabilitas dan terciptanya suasana kondusif di masyarakat, serta dapat menciptakan trust kepada pemerintah.
Dan yang terakhir, adalah pengalaman. Tenyata bagi Abu Bakar, seorang pemuda yang cerdas, punya kredibelitas tinggi, bahkan bisa dipercaya sekalipun, belum cukup untuk diberikan tanggung jawab penting kepadanya. Karena seseorang yang cerdas dan punya kredibelitas serta jujur, namun tidak punya pengalaman akan sulit menarik sebuah kebijakan efektif dan terkesan menyia-nyiakan kesempatan.
Pemilihan Zaid bin Tsabit ra. tersebut semakin memunculkan sifat kehati-hatian Abu Bakar dalam mempercayakan amanah, jika kita melihat para sahabat yang tersedia ketika itu di sekitar Abu Bakar ra.
Seharusnya Abu Bakar bisa saja menunjuk Umar bin Khattab dengan gelar Al-Faruqnya atau sang pembeda. Atau Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan keluasan ilmunya. Atau Utsman bin Affan yang merupakan satu dari sepuluh orang yang dijanjikan syurga oleh Rasulullah Saw. Atau bahkan Abu Bakar bisa saja beliau mengambil tugas tersebut dengan gelar Ash-Shiddiq-nya.
Namun semua sahabat-sahabat besar tersebut dilewati dan pilihan diberikan kepada Zaid bin Tsabit, semoga keridaan Allah selalu menyertai mereka semua.
Kembalikan Kepada Suara Hati Nurani
Berangkat dari pemaparan di atas, maka jelas terlihat bahwa suara yang akan kita berikan pada pilkada nanti haruslah sesuai dengan hati nurani. Yang kita maksudkan dengan hati nurani di sini adalah suara yang keluar setelah melalui proses seleksi ketat via syarat-syarat seorang pemimpin yang ideal.
Bukan suara hasil pertimbangan politik yang terkadang hanya memberikan kepentingan bagi sebagian kelompok saja. Dan membiarkan kepentingan orang banyak terabaikan.
Sadar atau tidak, kesalahan kita dalam mempercayakan amanah kepemimpinan ini juga akan dirasakan oleh orang lain. Karena orang yang telah kita pilih akan bekerja dan mengambil kebijakan atas nama semua orang, baik yang telah memilihnya ataupun bukan.
Kita juga tidak bisa membenarkan sikap kelompok ketiga yang disebutkan di awal tadi. Sikap tak acuh dan asal pilih seolah tidak mau peduli dengan nasib kepentingan umum dari umat ini. Padahal seorang muslim selalu dituntut untuk senantiasa memperhatikan kepentingan saudaranya.
Nabi Saw. bahkan telah menjadikan syarat perhatian terhadap nasib sesama muslim sebagai syarat untuk bisa dikategorikan sebagai umatnya. “Barangsiapa tidak peduli dengan nasib umat Islam, dia bukanlah bagian dari mereka. (H.R. Imam Al-Hakim)
Oleh karena itu, mari kita pergunakan suara kita dengan bijak. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertimbangkan empat syarat yang diajarkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ketika ingin memberikan tanggung jawab penting kepada seseorang, yaitu kekuatan fisik, kecerdasan, punya kredibelitas dan berpengalaman.
Dengannya semoga kita bisa menghindari “kerusakan besar” yang oleh Nabi Saw. diistilahkan dengan kata kiamat ketika sebuah tanggung jawab diberikan kepada dia yang bukan ahlinya. Semoga.
Editor: Annas Muttaqin